Suaranusantara.com- Dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali menjadi sorotan. Kementerian Hukum dan HAM melaporkan bahwa terdapat indikasi eksploitasi dan kekerasan yang terjadi dalam lingkungan sirkus tersebut. Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira, memberikan tanggapannya atas laporan tersebut.
Ia menilai bahwa kasus ini menunjukkan masih lemahnya perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi kelompok yang rentan. Menurutnya, fakta adanya kekerasan seksual dan fisik serta pemisahan anak dari keluarganya menjadi gambaran jelas bahwa sistem pengawasan dan penegakan HAM belum berjalan maksimal.
Kasus ini mencuat dari pengakuan para perempuan yang dulunya menjadi pemain sirkus OCI. Mereka menyampaikan bahwa selama bertahun-tahun dipaksa menjalani kehidupan yang penuh kekerasan dan perlakuan tak manusiawi, termasuk saat tampil di sejumlah lokasi seperti Taman Safari Indonesia.
Mereka juga menyebutkan bahwa anak-anak dipisahkan sejak kecil dari orang tuanya untuk dididik menjadi pemain sirkus. Meskipun pernah dilaporkan ke pihak kepolisian pada tahun 1997, proses hukum kasus ini dihentikan dua tahun kemudian tanpa tindak lanjut yang jelas.
“Pemerintah tidak boleh diam, dan harus memastikan keadilan dapat ditegakkan. Apalagi negara pernah gagal dalam mengusut kasus ini di tahun 90-an lalu, maka pemerintah harus memastikan negara tidak boleh gagal lagi memberikan keadilan bagi para korban,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Terkait kasus sirkus OCI, Kementerian HAM menyampaikan empat rekomendasi. Pertama, merekomendasikan Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan dan menyimpulkan ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat pada masa lalu, dan pertanggungjawaban korporasi atas kasus ini.
Kedua, KemenHAM meminta Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk memeriksa dugaan tindak pidana dalam kasus ini, berdasarkan pada perlakuan yang dialami mantan pemain OCI generasi akhir. Termasuk menyelidiki kapan kelompok sirkus OCI berhenti beroperasi guna memastikan waktu kejadian dan perbuatan (tempus delicti) pertanggungjawaban atas kasus tersebut.
Kementerian HAM juga merekomendasikan Polri untuk meminta pihak pendiri dan pemilik OCI memberikan dokumen-dokumen terkait penyerahan atau pengambilalihan anak-anak yang mereka pekerjakan.
Ketiga, Kementerian HAM merekomendasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk memfasilitasi penyembuhan trauma terhadap mantan pemain OCI. Hal ini sebagai bentuk pelaksanaan penanganan perlindungan hak perempuan dan anak.
Keempat, Kementerian HAM juga merekomendasikan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas dasar adanya permintaan resmi dari DPR RI untuk melakukan pendalaman lebih lanjut yang bersifat investigasi.
Andreas menyatakan bahwa Komisi XIII DPR merekomendasikan pembentukan TGPF untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM terhadap mantan pemain sirkus OCI. Rekomendasi ini diputuskan setelah pihaknya mendengar aspirasi dan keluhan dari eks pekerja OCI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar beberapa waktu lalu.
“Guna memverifikasi dan membuktikan terjadinya pelanggaran HAM dan kategori pelanggarannya, Komisi XIII DPR memang merekomendasikan kepada KemenHAM dan Komnas HAM agar membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF),” ungkap Andreas.
Pimpinan Komisi HAM DPR ini berharap pembentukan TGPF dapat memberi rasa keadilan bagi para korban. Untuk itu, Andreas mendorong agar rekomendasi-rekomendasi dari KemenHAM terkait kasus sirkus OCI agar dapat segera ditindaklanjuti.
“Sehingga dengan demikian kasus ini menjadi tuntas dan memberi rasa keadilan bagi para eks pekerja OCI,” jelas Legislator dari Dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) I itu.
Terkait adanya dugaan pidana, Andreas menegaskan hal itu harus menunggu hasil dari TGPF. Ini juga termasuk alasan penghentian kasus hukum sirkus OCI di tahun 1999 lalu. Kita lihat hasil dari proses yang dilakukan oleh TGPF,” tutup Andreas.
Discussion about this post